Menyelamatkan Waduk Gajah Mungkur

1 06 2009
Waduk Gajahmungkur didesain untuk 100 tahun terhitung sejak beroperasi tahun 1982 sampai tahun 2082, dengan kemampuan maksimal penyimpanan sedimen ( dead strorage ) sebesar 120 juta m3 dengan asumsi laju sedimen (endapan lumpur) sebesar 2 milimeter per tahun. Tetapi kenyataan sekarang laju sedimentasi mencapai 8 milimeter per tahun.

Bendungan serbaguna Wonogiri yang terkenal dengan Waduk Gajahmungkur diresmikan oleh Presiden Suharto pada 17 November 1978. Fungsi utama waduk selain untuk mengendalikan banjir ( flood control ) ÿjuga untuk irigasi, pemasok air baku untuk Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan air industri, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), pariwisata, perikanan darat.

Luas tangkapan air (Chatment area) 1.350 Km2 , Waduk Gajahmungkurÿ mampu mengendalikan banjir dari 4000 meter kubik (m3) per detik menjadi 400 meter kubik (m3) per detik Hal ini akan mengamankan seluruh daerah di sekitar aliran bengawan solo mulai Wonogiri, Ngawi sampai ke wilayah hilir di Gresik Jawa Timur dari bencana banjir. Terjadinya banjir pada awal tahun 2008 di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo akibat dari Waduk Gajahmungkur yang telah mengalami pendangkalanÿ karena tingginya laju sedimentasi.

Sejak beroperasi 26 tahun yang lalu, Waduk Gajahmungkur banyak memberi manfaat dalam pencegahan banjir dan yang lebih utama mampu mengairi lahan pertanian seluas lebih dari 23.600 ha di kabupaten Sukoharjo, Klaten, Karanganyar, Sragen.

Selain manfaat pengendali banjir dan kebutuhan irigasi, Waduk Gajahmungkur mampu memproduksi listrik sebesar 24 MW dari 2 mesin pembangkit. Karena pendangkalan waduk pada musim kemarau, Waduk Gajahmungkur hanya mampu menghasilkan listrik sebesar 12 MW.

Waduk Gajahmungkur didesain untuk 100 tahun terhitung sejak beroperasi tahun 1982 sampai tahun 2082, dengan kemampuan maksimal penyimpanan sedimen ( dead strorage ) sebesar 120 juta m3 dengan asumsi laju sedimen (endapan lumpur) sebesar 2 milimeter per tahun. Tetapi kenyataan sekarang laju sedimentasi mencapai 8 milimeter per tahun. Apakah umur 100 tahun bisa tercapai ? Saat ini sedimen yang masuk Waduk Gajahmungkur mencapai 2,55 juta m3 per tahun. Tahun 2008 ini diperkirakan jumlah sedimen yang masuk ke waduk mencapai 100 juta m3. Bahkan, studi penanganan sedimentasi yang dilakukan Badan Kerjasama Internasional Jepang (Japan International Cooperation Agency / JICA). Rata rata hasil sedimen tahunan ke dalam waduk (periode 1993-2004) sebesar 3,18 juta m3. Apabila tidak ada langkah langkah yang nyata untuk mencegah sedimentasi maka umur waduk tidak akan mencapai 20 tahun kedepan.

Sabuk hijau ( Green belt ) Waduk Gajahmungkur seluas 1.653 ha yang tersebar di tujuh wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Wonogiri kota, Nguntoronadi, Ngadirojo, Baturetno, Giriwoyo, Wuryantoro dan Eromoko merupakan areal proteksi dari laju sedimentasi yang mengakibatkan pendangkalan waduk. Green belt merupakan areal yang sangat strategis sebagai penyangga keberadaan waduk, sekaligus pemisah antara areal waduk dengan lahan nonwaduk. Kerusakan sabuk hijau akibat penebangan liar terlepas siapa yang merusak akan memperpendek umur Waduk Gajahmungkur. Air hujan dari daerah tangkapan air (Chatment area) yang kondisi hutannya sudah gundulÿ akan membawa material tanah masuk ke dalam waduk tanpa bisa dicegah.

PENYEBAB SEDIMENTASI

Sedimentasi yang masuk ke Waduk Gajahmungkur berasal dari erosi sungai sungai yang bermuara ke waduk yang meliputi Sungai Keduang, Wiroko, Solo Hulu, Alang dan Sungai Wuryantoro. Dari ke lima sungai tersebut sungai Keduang penyumbang sedimen terbesar yaitu 1.218.580 m3 per tahun, disusul Sungai Solo Hulu mencapai 604.990 m3 per tahun. Tingginya sedimentasi yang berasal dari Sungai Keduang bahkan sampai membentuk permukaan tanah yang memanjang dan membelah Waduk Gajahmungkur dengan panjang lebih dari satu kilometer. Seluruh sedimen dari sungai-sungai yang bermuara ke waduk bergerak perlahan lahan menuju pusat waduk, bahkan yang lebih memprihatinkan sedimen tersebut bergerak menuju intake yang mengganggu aliran air yang masuk ke Turbin sebagai penggerak PLTA.

Sumber sedimentasi dan erosi yang masuk ke Waduk Gajahmungkur berasal dari erosi tanah permukaan lahan, erosi jurang, longsoran lereng, erosi tebing sungai, dan erosi sisi badan jalan.

Penebangan pohon di daerah tangkapan air (chatment area) baik hutan rakyar, perhutani, sabuk hijau (Green belt), lahan pertanian, ladang, akan menyebabkan erosi permukaan lahan semakin tinggi sehingga aliran air membawa lumpur masuk ke dalam sungai – sungai yang bermuara ke waduk, hal ini diperparah lagi dengan kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang merupakan lahan pertanian pasang surut yang kuasai oleh masyarakat untuk tanam padi dan palawijo pada musim kemarau. Daerah Aliran Sungai seharusnya merupakan daerah hijau untuk mencegah erosi tanah pada saat terjadi banjir. Laju sedimentasi ke pusat waduk semakin tinggi jika di areal waduk dibuat lahan pasang surut untuk bercocok tanam, penggemburan tanah selama penanaman akan mudah sekali terjadi erosi saat hujan turun. 92% sedimen yang masuk ke waduk berasal dari erosi permukaan lahan.

Banyaknya lokasi jurang dan longsoran di daerah tangkapan air, lereng lereng (tebing) kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) saat musim hujan erosi menuju waduk. Pembuatan jalan baru dengan pengerukan tebing dan penambangan batu oleh masyarakat di sekitar lokasi waduk dan sungai juga mempermudah terjadinya erosi.

PENANGANAN SEDIMENTASI

Penanganan sedimentasi Waduk Gajahmungkur harus dilihat dari sumber permasalahan secara umum dan sumber penyebab sedimentasi itu sendiri. Tanpa adanya kajian permasalahan untuk duduk bersama-sama dari berbagai lembaga dan instansi terkait lepas dari kepentingan tertentu maka penyelamatan waduk tak akan membuahkan hasil yang optimal.

Undang-undang ataupun peraturan pemerintah sebagai payung hukum kewenangan pengelolaan waduk Gajahmungkur harus mampu mengakomodasi seluruh permasalahan sedimentasi, kerusakan sabuk hijau, DAS, dan yang lebih utama lagi pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu peran Pemkab Wonogiri sebagai pemilik wilayah sangat dominan dalam penyelamatan waduk. Keppres No 129/2000 yang memberikan kewenangan pengelolaan Waduk Gajahmungkur kepada Perum Jasa Tirta I Solo perlu ditinjau ulang.

Secara teknis pembangunan fasilitas pengendali erosi seperti cek dam, gerakan rehabilitasi lahan, perbaikan DAS diatas waduk menghabiskan dana yang sangat besar. Apakah langkah ini efektif untuk penyelamatan waduk dari sedimentasi ?

Peran masyarakat di seluruh daerah Chatment area untuk tidak melakukan penebangan pohon, perusakan Green belt, pemanfaatan DAS sebagai lahan pertanian perlu mendapatkan perhatian yang serius karena wilayah inilah penyangga utama pelestarian Waduk Gajah Mungkur. Berapapun besarnya dana dan apapun jenis proyek penanganan sedimentasi tanpa pemahaman, keterlibatan, pengertian, partisipasi masyarakat secara terus menerus tak akan membuahkan hasil. Mengubah pola perilaku masyarakat peduli waduk dengan memberikan penyuluhan secara terus menerus akan menghasilkan sikap rasa memiliki terhadap waduk Gajahmungkur.

Menurut hasil penelitian bahwa sikap memiliki dapat dibentuk dengan melakukan sosialisasi secara terus menerus membutuhkan waktu paling cepat tiga tahun.

Tulisan ini mengetengahkan sekilas pandang tentang kondisi Waduk Gajahmungkur untuk direnungkan dan kita jaga kelestariannya.

Source URL :  http://www.pedulisampah.org/user.php?op=userinfo&uname=putra

Waduk Gajahmungkur didesain untuk 100 tahun terhitung sejak beroperasi tahun 1982 sampaiÿ tahun 2082, dengan kemampuan maksimal penyimpanan sedimen ( dead strorage ) sebesar 120 juta m3 dengan asumsi laju sedimen (endapan lumpur)ÿ sebesar 2 milimeter per tahun. Tetapi kenyataan sekarang laju sedimentasi mencapai 8 milimeter per tahun.

Bendungan serbaguna Wonogiri yang terkenal dengan Waduk Gajahmungkur diresmikan oleh Presiden Suharto pada 17 November 1978. Fungsi utama waduk selain untuk mengendalikan banjir ( flood control ) ÿjuga untuk irigasi, pemasok air baku untuk Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan air industri, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), pariwisata, perikanan darat.

Luas tangkapan air (Chatment area) 1.350 Km2 , Waduk Gajahmungkurÿ mampu mengendalikan banjir dari 4000 meter kubik (m3) per detik menjadi 400 meter kubik (m3) per detik Hal ini akan mengamankan seluruh daerah di sekitar aliran bengawan solo mulai Wonogiri, Ngawi sampai ke wilayah hilir di Gresik Jawa Timur dari bencana banjir. Terjadinya banjir pada awal tahun 2008 di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo akibat dari Waduk Gajahmungkur yang telah mengalami pendangkalanÿ karena tingginya laju sedimentasi.

Sejak beroperasi 26 tahun yang lalu, Waduk Gajahmungkur banyak memberi manfaat dalam pencegahan banjir dan yang lebih utama mampu mengairi lahan pertanian seluas lebih dari 23.600 ha di kabupaten Sukoharjo, Klaten, Karanganyar, Sragen.

Selain manfaat pengendali banjir dan kebutuhan irigasi, Waduk Gajahmungkur mampu memproduksi listrik sebesar 24 MW dari 2 mesin pembangkit. Karena pendangkalan waduk pada musim kemarau, Waduk Gajahmungkur hanya mampu menghasilkan listrik sebesar 12 MW.

Waduk Gajahmungkur didesain untuk 100 tahun terhitung sejak beroperasi tahun 1982 sampaiÿ tahun 2082, dengan kemampuan maksimal penyimpanan sedimen ( dead strorage ) sebesar 120 juta m3 dengan asumsi laju sedimen (endapan lumpur)ÿ sebesar 2 milimeter per tahun. Tetapi kenyataan sekarang laju sedimentasi mencapai 8 milimeter per tahun. Apakah umur 100 tahun bisa tercapai ? Saat ini sedimenÿ yang masukÿ Waduk Gajahmungkur mencapai 2,55 juta m3 per tahun. Tahun 2008 ini diperkirakan jumlah sedimen yang masuk ke waduk mencapai 100 juta m3. Bahkan, studi penanganan sedimentasi yang dilakukan Badan Kerjasama Internasional Jepang (Japan International Cooperation Agency / JICA). Rata rata hasil sedimen tahunan ke dalam waduk (periode 1993-2004) sebesar 3,18 juta m3. Apabila tidak ada langkah langkah yang nyata untuk mencegah sedimentasi maka umur waduk tidak akan mencapai 20 tahun kedepan.

Sabuk hijau ( Green belt ) Waduk Gajahmungkur seluas 1.653 ha yang tersebar di tujuh wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Wonogiri kota, Nguntoronadi, Ngadirojo, Baturetno, Giriwoyo, Wuryantoro dan Eromoko merupakan areal proteksi dari laju sedimentasi yang mengakibatkan pendangkalan waduk. Green belt merupakan areal yang sangat strategis sebagai penyangga keberadaan waduk, sekaligus pemisah antara areal waduk dengan lahan nonwaduk. Kerusakan sabuk hijau akibat penebangan liar terlepas siapa yang merusak akan memperpendek umur Waduk Gajahmungkur. Air hujan dari daerah tangkapan air (Chatment area) yang kondisi hutannya sudah gundulÿ akan membawa material tanah masuk ke dalam waduk tanpa bisa dicegah.

PENYEBAB SEDIMENTASI

Sedimentasi yang masuk ke Waduk Gajahmungkur berasal dari erosi sungai sungai yang bermuara ke waduk yang meliputi Sungai Keduang, Wiroko, Solo Hulu, Alang dan Sungai Wuryantoro. Dari ke lima sungai tersebut sungai Keduang penyumbang sedimen terbesar yaitu 1.218.580 m3 per tahun, disusul Sungai Solo Hulu mencapai 604.990 m3 per tahun. Tingginya sedimentasi yang berasal dari Sungai Keduang bahkan sampai membentuk permukaan tanah yang memanjang dan membelah Waduk Gajahmungkur dengan panjang lebihÿ dari satu kilometer. Seluruh sedimenÿ dariÿ sungai-sungai yang bermuara ke waduk bergerak perlahan lahan menuju pusat waduk, bahkan yang lebih memprihatinkan sedimen tersebut bergerak menuju intakeÿ yang mengganggu aliran air yang masuk ke Turbin sebagai penggerak PLTA.

Sumber sedimentasi dan erosi yang masuk ke Waduk Gajahmungkur berasal dari erosi tanah permukaan lahan, erosi jurang, longsoran lereng, erosi tebing sungai, dan erosi sisi badan jalan.

Penebangan pohon di daerah tangkapan air (chatment area) baik hutan rakyar, perhutani, sabuk hijau (Green belt), lahan pertanian, ladang, akan menyebabkan erosi permukaan lahan semakin tinggi sehingga aliran air membawa lumpur masuk ke dalam sungai – sungai yang bermuara ke waduk, hal ini diperparah lagi dengan kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang merupakan lahan pertanian pasang surut yang kuasai oleh masyarakat untuk tanam padi dan palawijo pada musim kemarau. Daerah Aliran Sungai seharusnya merupakan daerah hijau untuk mencegah erosi tanah pada saat terjadi banjir. Laju sedimentasi ke pusat waduk semakin tinggi jika di areal waduk dibuat lahan pasang surut untuk bercocok tanam, penggemburan tanah selama penanaman akan mudah sekali terjadi erosi saat hujan turun. 92% sedimen yang masuk ke waduk berasal dari erosi permukaan lahan.

Banyaknya lokasi jurang dan longsoran di daerah tangkapan air, lereng lereng (tebing) kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) saat musim hujan erosi menuju waduk. Pembuatan jalan baru dengan pengerukan tebing dan penambangan batu oleh masyarakat di sekitar lokasi waduk dan sungai juga mempermudah terjadinya erosi.

PENANGANAN SEDIMENTASI

Penanganan sedimentasi Waduk Gajahmungkur harus dilihat dari sumber permasalahan secara umum dan sumber penyebab sedimentasi itu sendiri. Tanpa adanya kajian permasalahan untuk duduk bersama-sama dari berbagai lembaga dan instansi terkait lepas dari kepentingan tertentu maka penyelamatan waduk tak akan membuahkan hasil yang optimal.

Undang-undang ataupun peraturan pemerintah sebagai payung hukum kewenangan pengelolaan waduk Gajahmungkur harus mampu mengakomodasi seluruh permasalahan sedimentasi, kerusakan sabuk hijau, DAS, dan yang lebih utama lagi pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu peran Pemkab Wonogiri sebagai pemilik wilayah sangat dominan dalam penyelamatan waduk. Keppres No 129/2000 yang memberikan kewenangan pengelolaan Waduk Gajahmungkur kepada Perum Jasa Tirta I Solo perlu ditinjau ulang.

Secara teknis pembangunan fasilitas pengendali erosi seperti cek dam, gerakan rehabilitasi lahan, perbaikan DAS diatas waduk menghabiskan dana yang sangat besar. Apakah langkah ini efektif untuk penyelamatan waduk dari sedimentasi ?

Peran masyarakat di seluruh daerah Chatment area untuk tidak melakukan penebangan pohon, perusakan Green belt, pemanfaatan DAS sebagai lahan pertanian perlu mendapatkan perhatian yang serius karena wilayah inilah penyangga utama pelestarian Waduk Gajah Mungkur. Berapapun besarnya dana dan apapun jenis proyek penanganan sedimentasi tanpa pemahaman, keterlibatan, pengertian, partisipasi masyarakat secara terus menerus tak akan membuahkan hasil. Mengubah pola perilaku masyarakat peduli wadukÿ dengan memberikan penyuluhan secara terus menerus akan menghasilkan sikap rasa memiliki terhadap waduk Gajahmungkur.

Menurut hasil penelitian bahwa sikap memiliki dapat dibentuk dengan melakukan sosialisasi secara terus menerus membutuhkan waktu paling cepat tiga tahun.

Tulisan ini mengetengahkan sekilas pandang tentang kondisi Waduk Gajahmungkur untuk direnungkan dan kita jaga kelestariannya.


Actions

Information

One response

7 08 2016
bagus rizki a

Makasih ya jadi bisa pr nya

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s




%d bloggers like this: