Dalam kehidupan umat manusia yang makin maju dan makin ruwet (complicated) kepemimpinan dan manajemen sangat dipengaruhi sikap yang tepat menghadapi Prinsip di satu pihak dan Pragmatisme di pihak lain.
Berpegang pada Prinsip berarti mendasarkan segala keputusan pada ketentuan-ketentuan pokok yang telah ditetapkan atau disepakati. Sedangkan Bersikap Pragmatis adalah mengambil keputusan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang dihadapi. Maka idealnya adalah mengambil keputusan yang merupakan perwujudan Prinsip sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Orang yang kuat berpegang pada Prinsip cenderung untuk melihat jauh ke depan. Kalau dilakukan secara berlebihan menghasilkan sikap kaku karena kurang memperhatikan situasi dan kondisi yang ada. Sebaliknya orang yang Bersikap Pragmatis lebih memperhatikan keperluan jangka pendek. Sikap pragmatis yang berlebihan menjadikan orang itu tidak berpendirian. Maka untuk mencapai keseimbangan antara dua hal itu diperlukan pertimbangan (judgment) yang matang, melibatkan rasio, emosi, persepsi dan intuisi secara integral.
Kemampuan membuat keputusan yang seimbang antara Prinsip dan Sikap Pragmatis menunjukkan mutu dan nilai kepemimpinan dan manajemen. Sebab keputusan yang secara berlebihan berpegang Prinsip dan mengabaikan situasi dan kondisi yang ada akan menghasilkan perkembangan yang kurang baik atau bahkan merugikan organisasi yang dipimpin. Kalau hal itu menyangkut Negara akan juga merugikan rakyatnya. Demikian pula kalau terlalu bersikap Pragmatis dan mengabaikan Prinsip, kerugian yang besar akan terjadi bagi organisasi itu.
Contoh yang baik telah terjadi dalam sejarah bangsa kita. Setelah Irian Barat masuk dalam wilayah RI pada permulaan dekade 1960, maka wilayah nasional RI telah lengkap sepenuhnya, yaitu seluruh bekas wilayah Hindia Belanda. Tidak lama kemudian Presiden Sukarno memutuskan untuk melakukan Konfrontasi terhadap Malaysia, karena menurut beliau pembentukan Malaysia adalah bagian dari usaha neo-kolonialisme. Keputusan Bung Karno untuk secepat itu melakukan Konfrontasi terhadap Malayisa lebih banyak didasarkan pada Prinsip bahwa Indonesia harus selalu melawan neo-kolonialisme. Bung Karno kurang memperhatikan bahwa bangsa Indonesia harus lebih dulu mengadakan konsolidasi setelah berjuang sejak 1945 untuk menegakkan kedaulatan bangsa. Sebab perjuangan itu telah banyak menguras kekuatan bangsa Indonesia, baik secara militer dan terutama ekonomi. Juga kurang diperhatikan bahwa perjuangan menghadapi neo-kolonialisme berarti menghadapi Amerika Serikat serta sekutunya yang jauh lebih kuat dari Belanda yang telah kita kalahkan. Dilihat dari sudut Prinsip Bung Karno benar, karena bangsa Indonesia harus melawan setiap bentuk kolonialisme dan imperialisme. Akan tetapi dilihat dari sudut realitas kondisi bangsa dan kekuatan internasional, sangat tidak cocok. Akibatnya keputusan itu sangat merugikan bangsa Indonesia dan Bung Karno sendiri.
Andai kata pada tahun 1960an Bung Karno memimpin RI untuk konsolidasi lebih dulu untuk membangun kekuatan politik, ekonomi dan militer yang lebih tangguh, maka sejarah RI pasti akan berbeda. Kecil kemungkinan adanya pemberontakan G30S/PKI karena kaum komunis akan berpikir panjang sebelum mengganggu Indonesia yang sedang menguat. Selain itu dalam percaturan internasional Indonesia yang lebih kuat mempunyai posisi tawar (leverage) yang jauh lebih besar yang dapat dimanfaatkan untuk menghadapi gerak NEKOLIM.
Sebaliknya Presiden Soeharto pada tahun 1968 melakukan Pembangunan Nasional yang bertitik berat ekonomi untuk memperbaiki keadaan bangsa yang memang parah ekonominya setelah perjuangan sejak 1945. Untuk itu RI menjalin hubungan yang dekat dengan dunia Barat dengan Amerika sebagai pelopornya. Keputusan itu kental dengan pragmatisme karena menurut Prinsip Indonesia harus tidak berpihak dalam konflik Barat-Komunis. Akan tetapi keputusan itu masih dinilai benar ketika sikap itu mendatangkan cukup banyak kebaikan bagi rakyat yang sukar hidupnya. Akan tetapi ketika lambat laun Pak Harto dan para pembantu ekonominya terlalu mengikatkan diri pada Washington Consensus, yaitu Bank Dunia, IMF dan Departemen Keuangan AS, maka sikap pragmatis itu menjadi berlebihan. Perbaikan pada kehidupan rakyat setelah Pembangunan Nasional dimulai tidak dapat dikembangkan menjadi kekuatan bangsa yang nyata. Konsekuensinya dirasakan ketika pada tahun 1997 terjadi Krisis Moneter di Asia Timur. Tidak saja bangsa Indonesia mengalami keruntuhan mata uang Rupiah secara radikal, tetapi terjadi juga Krisis Ekonomi dan Krisis Politik yang hingga kini belum dapat diatasi secara benar, sekalipun sudah ada Reformasi.
Di situ jelas sekali bahwa kepemimpinan dan manajemen bukan barang yang mudah. Tidak ada yang sanggup mengatakan bahwa Bung Karno bukan pemimpin yang hebat dalam ukuran nasional maupun internasional, demikian pula Pak Harto. Namun mereka harus mengakhiri kepemimpinan hebat itu secara tragis karena judgment mereka pada satu saat meleset. Demikianlah memang dinamika kehidupan manusia !
Nampaknya bangsa Indonesia sekarang menghadapi lagi masalah Prinsip versus Sikap Pragmatis. Kepemimpinan bangsa sekarang lebih mengandalkan sikap Pragmatis dan mengabaikan Prinsip yang amat penting. Nampak antara lain dalam mengendalikan ekonomi nasional dan keputusan tentang DCA dengan Singapura. Hal itu telah dimanfaatkan Megawati Sukarnoputri sebagai pimpinan oposisi dan PDIP untuk melancarkan kritik tajam kepada Presiden Susilo B. Yudhoyono. Ini tentu dilakukan sebagai persiapan Pemilihan Presiden 2009.
Kalau kita perhatikan secara obyektif dalam sejarah dunia, maka judgment tepat mengenai Prinsip versus Sikap Pragmatis, selain dipengaruhi kecakapan orang tidak lepas dari faktor keberuntungan. Hal ini terlihat di China yang sejak 1979 dipimpin Deng Xiaoping sangat pragmatis, seakan-akan sudah bukan negara komunis lagi. Tetapi hingga kini judgmentnya malahan membuat China amat maju dan kuat.
Sayidiman Suryohadiprojo
Source url : http://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=1264
Leave a Reply